Kamis, 23 September 2010

IMPLEMENTASI BIOREMEDIASI

gambar Alyssum murale
(salah satu tanaman hiperakumulator)

Bioremediasi merupakan proses pembersihan pencemaran dengan menggunakan mikroorganisme, fungi, dan tumbuhan. Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun. Bioremediasi prinsipnya adalah membersihkan dari bahan pencemar dengan memanfaatkan kemampuan organisme atau menggunakan agen biologis. Proses utama pada bioremidiasi adalah biodegradasi, biotransformasi dan biokatalis.
Hal yang perlu diketahui dalam melakukan remediasi:
1. Jenis pencemar (organik atau anorganik),
2. terdegradasi/tidak, berbahaya/tidak,
3. Berapa banyak zat pencemar yang telah mencemari lingkungan tersebut,
4. Perbandingan karbon (C), nitrogen (N), dan Fosfat (P),
5. Jenis tanah,
6. Kondisi tanah (basah, kering),
7. Telah berapa lama zat pencemar terendapkan di lokasi tersebut,
8. Kondisi pencemaran (sangat penting untuk dibersihkan segera/bisa ditunda).
Pada saat bioremediasi, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut, sebuah peristiwa yang disebut biotransformasi. Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana polutan beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun.
Pendekatan umum untuk meningkatkan kecepatan biotransformasi/ biodegradasi adalah dengan cara:
i. seeding, mengoptimalkan populasi dan aktivitas mikroba indigenous (bioremediasi instrinsik) dan/atau penambahan mikroorganisme exogenous (bioaugmentasi)
ii. feeding, memodifikasi lingkungan dengan penambahan nutrisi (biostimulasi) dan aerasi (bioventing)
Jenis-jenis bioremediasi yaitu
a. Biostimulasi
Nutrien dan oksigen, dalam bentuk cair atau gas, ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar untuk memperkuat pertumbuhan dan aktivitas bakteri remediasi yang telah ada di dalam air atau tanah tersebut.
b. Bioaugmentasi
Mikroorganisme yang dapat membantu membersihkan kontaminan tertentu ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar. Cara ini yang paling sering digunakan dalam menghilangkan kontaminasi di suatu tempat. Namun ada beberapa hambatan yang ditemui ketika cara ini digunakan. Sangat sulit untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar agar mikroorganisme dapat berkembang dengan optimal. Para ilmuwan belum sepenuhnya mengerti seluruh mekanisme yang terkait dalam bioremediasi, dan mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit untuk beradaptasi.
c. Bioremediasi Intrinsik
Bioremediasi jenis ini terjadi secara alami di dalam air atau tanah yang tercemar.

Pada bioremediasi di lingkungan yang tercemar minyak bumi. Yang pertama dilakukan adalah mengaktifkan bakteri alami pengurai minyak bumi yang ada di dalam tanah yang mengalami pencemaran tersebut. Bakteri ini kemudian akan menguraikan limbah minyak bumi yang telah dikondisikan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan hidup bakteri tersebut. Dalam waktu yang cukup singkat kandungan minyak akan berkurang dan akhirnya hilang, inilah yang disebut sistem bioremediasi.
Pada bioremediasi tanah melalui aplikasi fitoremediasi. Cara pembersihan zat pencemar organik lebih diarahkan melalui aplikasi tanaman (fitoremediasi). Fitoremediasi merupakan teknologi pembersihan, penghilangan atau pengurangan polutan berbahaya, seperti logam berat, pestisida, dan senyawa organik beracun dalam tanah atau air dengan menggunakan bantuan tanaman (hiperakumulator plant).
Tanaman yang digunakan menjadi lebih sering dikombinasikan dengan mikroba dalam menurunkan zat pencemar organik (jadi tidak semata mata tergantung mikroba). Akar tanaman/rhizosphere merupakan tempat yang secara alamiah menjadi rumah yang cocok bagi mikroba. Sehingga perbanyakan diri mikroba menjadi lebih terjamin pada perlakuan. Aplikasi ini pada lahan pencemaran terbuka sangat cocok. Selain sebagai rumah untuk perbanyakan mikroba, tanaman juga bertindak untuk mencegah terjadinya pencemaran air tanah. Perombakan dari organik menjadi anorganik-tidak jatuh ke air tanah, sehingga terjadi pencemaran air tanah. Contoh tanaman hiperakumulator antara lain :
Jenis Tanaman -- Unsur yang Diserap
Thlaspi caerulescens-- Zink (Zn) dan Kadmium (Cd)
Alyssum sp., Berkheya sp.,-- Sebertia acuminata Nikel (Ni)
Brassicacea sp.-- Sulfate
Pteris vittata, Pityrogramma calomelanos-- Arsenik (As)
Pteris vittata, Nicotiana tabacum, Liriodendron tulipifera.-- Mercuri (Hg)
Thlaspi caerulescens, Alyssum murale, Oryza sativa-- Senyawa organik (petroleum hydrocarbons, PCBs, PAHs, TCE juga TNT)
Brassica sp.-- Emas (Au)
Brassica juncea.-- Selenium (Se)

Proses Fitoremediasi ini adalah sebagai berikut:
1. Phytoacumulation : tumbuhan menarik zat kontaminan sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan
2. Rhizofiltration : proses adsorpsi / pengendapan zat kontaminan oleh akar untuk menempel pada akar.
3. Phytostabilization : penempelan zat-zat contaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin terserap kedalam batang tumbuhan.
4. Rhyzodegradetion : penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas microba
5. Phytodegradation : penguraian zat kontamin
6. Phytovolatization : transpirasi zat contaminan oleh tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya

Minggu, 05 September 2010

revolusi hijau

















REVOLUSI HIJAU

Revolusi hijau adalah usaha manusia dalam meningkatkan produksi pangan atau makanan dengan jalan melakukan pengembangan pada teknologi pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan dan kesejahteraan penduduk dunia. Bahan makanan atau pangan yang termasuk dalam revolusi hijau adalah yang termasuk dalam kelompok serelia atau sereal/cereal yaitu seperti beras, gandum, sagu, kentang, jagung, dan lain sebagainya.
Revolusi biru adalah usaha manusia dalam meningkatkan produksi pangan atau makanan dengan jalan meningkatkan produksi pangan yang berasal dari laut (sumber daya laut). Sumber daya laut dapat dibagi menjadi dua macam atau jenis antara lain ialah :
- sumber laut hayati / biotik, contohnya seperti tumbuhan laut seperti alga, plankton, rumput laut, dan lain sebagainya. Hewan laut seperti ikan, udang, cumi-cumi, gurita, sotong, kuda laut, kerang, dan lain-lain.
- sumber daya non hayati / abiotik, contohnya seperti garam mineral, energi laut, endapan nodul untuk bahan industri, dan lain sebagainya.

Dalam revolusi hijau terjadi pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan dengan cara mengubah dari pertanian tradisional menjadi pertanian yang menggunakan teknologi lebih maju.
Teknologi genetika memicu terjadinya Revolusi Hijau (green revolution) yang sudah berjalan sejak 1960-an. Di Indonesia revolusi hijau diintensifikasikan melalui pasca usaha tani yaitu dengan teknik pengolahan lahan pertanian, pengaturan irigasi, pemupukan, pemberantasan hama, penggunaan bibit unggul.
Dengan adanya gerakan revolusi hijau, produksi padi dan gandum di Indonesia meningkat sehingga pemenuhan pangan (karbohidrat) meningkat. Grakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras. Namun swasembada pangan tersebut hanya mampu bertahan dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 – 1989. Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965. Pertanian revolusi hijau juga dapat disebut sebagai kegagalan karena produknya sarat kandungan residu pestisida dan sangat merusak ekosistem lingkungan dan kesuburan tanah.

Permasalahan yang muncul akibat dari revolusi hijau adalah sebagai berikut:
a. Penurunan produksi protein, dikarenakan pengembangan serealia (sebagai sumber karbohidrat) tidak diimbangi pengembangan pangan sumber protein dan lahan peternakan diubah menjadi sawah.
b. Penurunan keanekaragaman hayati.
c. Makanan dan minuman hasil pertanian yang mengandung residu pestisida tidak baik untuk kesehatan dan pada jangka panjang dapat menyebabkan kanker.
d. Bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian, pupuk misalnya telah merusak struktur kimia dan biologi tanah.
e. Tanah mengandung residu (endapan pestisida)
f. Penggunaan pupuk buatan secara terus-menerus akan mempercepat habisnya zat-zat organik, merusak keseimbangan zat-zat makanan di dalam tanah sehingga menimbulkan berbagai penyakit tanaman. Akibatnya, kesuburan tanah di lahan-lahan yang menggunakan pupuk buatan dari tahun ke tahun terus menurun.
g. Penggunaan pupuk terus menerus menyebabkan ketergantungan tanaman pada pupuk.
h. Penggunaan pestisida menyebabkan terjadinya peledakan hama. Suatu keadaan yang kontradiktif dengan tujuan pembuatan pestisida karena pestisida dalam dosis berlebihan menyebabkan hama kebal.
i. Penggunaan pestisida mengakibatkan kematian musuh alami hama yang bersangkutan.
j. Bahan pestisida merusak ekosistem dan habitat beberapa binatang tertentu.

Revolusi Hijau bahkan telah mengubah hakekat petani dimana sebelumnya petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Namun dalam revolusi hijau, petani tidak boleh membiakkan benih sendiri. Bibit yang telah disediakan merupakan hasil rekayasa genetika, dan sangat tergantung pada pupuk dan pestisida kimia yang membuat banyak petani terlilit hutang. Akibat terlalu menjagokan bibit padi unggul, sekitar 1.500 varietas padi lokal telah punah dalam 15 tahun terakhir ini.
Meskipun dalam Undang-Undang No. 12/1992 telah disebutkan bahwa “petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudi-dayaannya”, tetapi ayat tersebut dimentahkan lagi oleh ayat berikutnya, yakni “petani berkewajiban berperan serta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanam” (program pemerintah). Dengan begitu, kebebasan petani tetap dikebiri oleh rezim pemerintah.
Dengan demikian telah terbukti bahwa penerapan Revolusi Hijau di Indonesia memberi dampak negatif pada lingkungan karena penggunaan pestisida dan pupuk kimia dan Revolusi Hijau di Indonesia tidak selalu mensejahterakan petani padi